Bithanah Ad-Da’awiyah
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا
وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا
تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ قَدۡ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡقِلُونَ
١١٨
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi bithanah dari
orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya”. (Ali Imran: 118)
Amaliyatud Da’wah
Meski keramaian jihad
siyasi telah rampung akan tetapi aktivitas dakwah tak akan pernah usai.
Lantaran dakwah merupakan tuntutan sepanjang zaman untuk bisa mewujudkan misi
ajaran Allah SWT. sehingga selalu bergulir dari satu kurun ke kurun yang lain
dari satu generasi ke generasi lainnya.
Mengajak umat manusia
kepada kebajikan dengan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran
agar tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Amaliyah ini senantiasa ada selama
masih berputarnya roda kehidupan.
Tabiat amal memang selalu
muncul dan muncul tanpa pernah bisa dibendung. Waktu yang berjalan mengiringi
jalannya amal. Bahkan keduanya saling lomba berdatangan. Kadang waktu mampu
menyelesaikan sebuah amal. Namun tidak jarang pula amal datang tanpa bisa waktu
menuntaskannya meski telah berlalu beberapa penggalannya. Malah sering kali
amal itu lebih banyak dari waktu yang tersedia sehingga ia tidak bisa
diselesaikan oleh satu kurun waktu atau satu generasi akan tetapi ia
diselesaikan oleh kurun waktu yang lain atau generasi berikutnya.
Kedatangan amal yang tak
kenal henti sudah menjadi tabiat alam semesta. Selama putaran alam ini tidak
berhenti maka selama itu pula putaran amal tak kan henti. Meski demikian bagi
seorang kader dakwah putaran waktu yang seiring dengan putaran amal bukanlah
sesuatu yang harus dihindari melainkan harus diantisipasi agar dapat mengikuti
alur perjalanan waktu dan amal. Seorang ulama dakwah telah lama mengingatkan
murid-muridnya dengan menyatakan “fajri bihadzihil ‘amal, tajri ma’aka, (mengalirlah
bersama amal-amal ini niscaya ia akan mengalirkan dirimu)”.
Karena itu catatan yang
perlu kita tulis adalah jangan sampai mengabaikan kesempatan dan peluang yang
telah diberikan kepada kita. Namun bila hal ini terabaikan maka nikmat
kesempatan itu menjadi sia-sia. Rasulullah SAW. telah mengingatkan bahwa,
“Ada dua kenikmatan yang
sering dilupakan manusia yakni kesempatan dan kesehatan”.(Muslim).
Tak dapat dipungkuri lagi
bahwa hakikat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat.
Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Karena
itu diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman. Mereka harus mencermati
peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu diingat bahwa ‘ngangur’ dapat
menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan bahwa banyak ayat maupun hadits
yang memberikan motivasi dan rangsangan agar selalu berbuat dan menghindari
diri dari sikap malas dan lemah untuk berbuat. Untuk itu Rasulullah SAW.
menyegerakan para sahabat melanjutkan agenda lainnya sebab bila tidak, yang
terjadi adalah peluang konflik dan friksi antar sesama atau akan disibukan
dengan hal-hal sepele.
“Pikiran tak dapat
dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu
jika kamu tidak disibukan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukan dengan
hal-hal kecil”. (Abdul Wahab Azzam).
Irama hidup orang yang
beriman hendaknya selalu terus berada pada siklusnya yang mesti berputar maka
sesudah menunaikan satu tugas ia harus menyiapkan diri untuk menunaikan tugas
besar lainnya. Siklus demikian dapat menyehatkan diri dan amalnya karena ia
mampu memanfaatkan waktunya untuk mengukir goresan indah.
فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ ٧
“Maka apabila kamu
telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan
yang lain”. (Al Insyirah: 7).
Bila perjalanan amal yang
begitu panjang sering terjadi dalam kehidupan ini maka tidak ada pilihan lain
kecuali mempersiapkan diri untuk mengarunginya. Salah satu penyiapan yang amat
perlu dimiliki adalah sikap tidak pernah lelah dalam amal. Karena sikap lelah
dan terus merasa lelah akan memperkecil potensi produktivitas dan akan
menggerogoti energi untuk berbuat. Maka kita perlu mengantisipasi dan memerangi
kelelahan kita. Bisa dengan recovery tarbiyah dengan mendisplinkan diri dalam
menerapkan manhaj, rihlah, siyahah atau amal-amal tarbawi lainnya.
Rasulullah SAW. pun
menyuruhnya, seperti dalam sabdanya:
“Rehatkanlah hatimu
karena hatimu tidak terbuat dari batu”.
Disamping amaliyatud
dakwah tidak boleh henti, ia pun tidak boleh terbatas hanya pada satu kalangan.
Sentuhan dakwah ini mesti menjangkau seluruh lapisan masyarakat luas karena
sesungguhnya hak dakwah ini untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Karenanya amaliyatud dakwah ini harus menyentuh ke berbagai segmen. Dan ini
wujud penerapan risalah terakhir yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
adalah untuk dapat menyebar luaskan dakwah ke seluruh lapisan manusia. Untuk
itu semangat amaliyatud dakwah tidak boleh redup. Ia perlu dikobarkan pada
sanubari seluruh kader.
Bithanah Ad-Da’awiyah
Bithanah dalam bahasa
Arab berarti rangkapan baju dalaman. Seperti jas yang bagian dalamannya
dilapisi kain tipis yang dikenal dengan sebutan puring. Dia tidak kelihatan,
tapi cukup menentukan penampilan baju. Dengan pengertian itu, bithanah kemudian
diusung ke dalam bahasa politik untuk menyebut mereka yang berada di belakang
pemimpin atau penguasa. Sebagai pengokoh dalam menjalankan sebuah kekuasaan.
Kaisar, raja, atau
presiden, biasanya mempunyai orang-orang dekat yang dipercaya. Mereka yang
dekat dan dipercaya ini, ada yang, karena kapasitasnya, dipilih menjadi
pembantu resmi, seperti menteri dan gubernur; ada yang, karena satu dan lain
hal, justru tidak dimunculkan sebagai pembantu resminya. Yang terakhir ini–yang
dimaksud bithanah–meski tidak tampak sebagai pembantu resmi, sering kali justru
lebih berpengaruh dan menentukan. Mereka tidak tampak terutama pada saat sang
penguasa bersangkutan berkuasa. Bahkan ada yang tetap tidak tampak dan tidak
diketahui meskipun sang penguasa sudah tidak berkuasa lagi.
Memang kadang-kadang ada
bithanah yang sekaligus juga pembantu resmi, atau semula merupakan orang-orang
kepercayaan penguasa di belakang layar, kemudian diangkat menjadi pembantu
resminya. Dalam sejarah kekuasaan, bithanah banyak memiliki peran kelangsungan
dan kekokohan para penguasa. Sebagai contoh salah satunya Haman adalah bithanah
kepercayaan Fir’aun yang sekaligus merupakan pembantu resminya.
Bila dikaitkan dengan
dakwah maka bithanah da’awiyah merupakan bagian-bagian yang menjadi pengokoh
dakwah agar senantiasa berdiri tegar. Adapun bithanah da’awiyah ini lebih
kepada penguatan dakwah di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai persoalan
yang melingkupinya. Hal ini menjadi sangat urgen bila melihat aspek penerapan
sistem ajaran Islam yang lebih mengakar. Sedang bithanah da’awiyah yang
dimaksud adalah:
1. At Ta’yidul Wal
Muqabalah Mutanawi’ah (Dukungan dan Sambutan yang beragam)
Dukungan dan sambutan
masyrakat terhadap dakwah mempengaruhi eksistensinya. Implikasinya adalah
atensi mereka yang semakin besar pada dakwah dan ditindak lanjuti kesertaan
mereka menjadi bagian dari dakwah ini. Dakwah dapat semakin eksis selama
masyarakat yang beragam menjadi instrument dalam menjalankan roda dakwah ini.
Adapun indikasinya adalah bahwa masyarakat menerima seruan ajarannya ini dengan
sikap ridha dan lapang. Bila kenyataan ini benar maka masyarakat merupakan
potensi yang amat besar untuk memberikan pembelaan dan kontribusinya terhadap
dakwah.
Sedang para kader menjadi
simpul-simpul masyarakat yang beragam untuk dapat menggerakkan mereka. Dan diperlukan
dalam jumlah yang besar dan merata. Sebab simpul-simpul itu harus berada
didalamnya. Ini dapat memudahkan tadakhul da’awiyah padanya. Maka penyebaran
kader harus merata di berbagai wilayah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
agar bisa dievaluasi dengan seksama dan secermat mungkin untuk dapat
mengantisipasi perkembangan dakwah.
Rasulullah SAW.
senantiasa mengamati perkembangan dakwah Islam dengan pendekatan siapa-siapa
yang sudah menerima Islam dan kabilah-kabilah mana saja yang sudah Islam. Metodelogi
evaluasi melalui orang dan kabilah yang masuk Islam ini menunjkan bahwa sejauh
mana dukungan masyarakat luas pada dakwah Islam. Bila dukungan masyrakat itu
real dengan masuknya mereka pada Islam maka dakwah Islam dapat semakin kokoh
dan kuat karena mendapat dukungan dari berbagai kekuatan dalam masyarakat.
Tentunya dakwah ini memerlukan sejumlah besar orang-orang yang
memperjuangkannya. Agar mereka menjadi tameng dan sekaligus sebagai ansharud
da’wah (pembela dakwah) dalam menghadapi serangan musuh-musuh dakwah.
Karena itu Allah SWT. mengingatkan agar bisa menegakkan dakwah ini bersama
sejumlah besar pengikut-pengikutnya yang setia.
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ
قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي
سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ
١٤٦
“Dan berapa banyak
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang
bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar”. (Ali Imran: 146)
Karenanya, dukungan dan
sambutan masyarakat ini perlu dievaluasi dan ditingkatkan kapasitas dan
kapabiltasnya lantaran ia sangat berpengaruh pada kelangsungan dan kekokohan
dakwah ini. ia menjadi salah satu unsur bithanah terhadap dakwah.
2. Quwwatul Matanah
Ad-Dakhiliyah (Soliditas internal yang kuat)
Dakwah menjadi bangunan
yang kuat manakala orang-orang yang berhimpun didalamnya solid dan saling
membantu. Bagaikan bangunan megah yang terdiri dari satu material dengan
material lainnya saling menguatkan. Tidak ada kerapuhan sedikitpun diantara
komponen di dalamnya. Bila hal ini terjadi pada orang-orang yang berhimpun
dengan dakwah sangat kuat, tidak ada pertikaian, iri, dengki, hasad, maupun
bermusuhan. Maka bangunan dakwah menjadi bangunan yang indah dan kuat tidak
akan goyah oleh goncangan apapun.
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ
يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّٗا كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤
“Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (As-Shaff:
4)
Rasulullah SAW. amat
perhatian pada soliditas internal yang terjadi di kalangan para sahabat. Beliau
selalu memberikan arahan ketika dilihatnya ada benih-benih yang dapat
memporakporandakan kesatuan dan kesolidan kaum muslimin. Beliau pun akan
menyegerakan mereka untuk melakukan berbagai amaliyah menghindari sisi
kerapuhan interaksi sosial mereka. Sangat banyak taujihat nabawiyah pada
masalah ini sampai-sampai di akhir hayatnya beliau mengingatkan agar jangan
saling hasad, dengki, iri, dan bermusuhan karena sesungguhnya kaum muslimin
merupakan bersaudara bagaikan satu tubuh.
Memang sangat mungkin
sekali gesekan antar individu dalam amal jihad siyasi kemarin terjadi. Dan ini
dapat menimbulkan luka di hati. Ada yang kesal dengan ikhwah karena dianggap
kurang peduli memberikan kontribusi pada jihad siyasi yang lalu. Ada pula yang
merasa memiliki kewenangan sehingga seakan-akan mendominasi kepentingan pada
alur struktural dan penggalangan ikhwah. Yang berakibat pada ketidak sukaan
akan gaya dan style ‘ikhwah’ tersebut. Oleh sebab itu perlulah mentadaburi
taujihat rabbaniyah ini agar terhindar dari hal-hal yang
dapat berakibat buruk pada soliditas internal.
“Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (
Ali Imran: 103)
3. At Thaqah Wal Miharul
Muta’ammiqah (Kemampuan dan keahlian yang mumpuni)
Untuk dapat mengemban
amanah dakwah yang besar maka tidak bisa dielakkan lagi bahwa kemampuan dan
keahlian menjadi satu hal yang harus diperhatikan. Bahkan kemampuan dan keahlian
yang dimiliki para kader dakwah harus pada tingkatan mumpuni di berbagai
bidang. Karena urusan yang diamanahkan kepadanya semakin besar. Sudah barang
tentu kualitas ekspert dan skillnya yang perlu dikembangkan agar mampu
menunaikan tugas besar tersebut. Sebab bila ini tidak terpenuhi amat mungkin
amanah itu terabaikan pelaksanaannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh
Rasulullah SAW. bahwa bila satu urusan diberikan pada orang yang tidak mumpuni
maka tunggulah saat kehancurannya.
Pada masa pemerintahan
Umar ibnul Khaththab RA. kemampuan dan keahlian para sahabat mulai beragam dan
tersebar ke berbagai bidang. Hal ini tentu berkaitan dengan tugas kepemimpinan
yang teramat berat yang dipikulnya. Umat Islam yang beragam kultur dan
budayanya serta wilayah cakupannya yang amat luas merambah daerah sekitar
jazirah. Sehingga skill dan ekspert yang mereka miliki harus menyentuh pada
persoalan yang dinamis terjadi saat itu. Dan ini sangat terkait dengan bangunan
dakwah dan penyebar luasannya. Para sahabat ada yang ahli dalam bidang budaya
dan kultur suatu masyarakat. Sehingga mempermudah bagi yang lainnya untuk
mengenal tabiat dan tradisi masyarakat setempat. Dan hal ini sangat bermanfaat
untuk memulai penetrasi dakwahh didalamnya. Ada pula yang ahli dalam komunikasi
lantaran ia sudah bisa berdialog dengan beberapa bahasa setempat. Ada pula yang
ahli dalam bidang pemerintahan sehingga bermunculan berbagai kelembagaan yang
membantu pelaksanaan pemerintahan suatu daerah.
Amatlah tepat apa yang
difirmankan Allah SWT.
قُلۡ كُلّٞ يَعۡمَلُ عَلَىٰ
شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَنۡ هُوَ أَهۡدَىٰ سَبِيلٗا ٨٤
“Katakanlah:
“Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Al Isra’: 84).
Agar seluruh kader dakwah
ini dapat mempermulus perjalanan dakwah dan kekokohannya. Dan sekali lagi ini
berpulang pada kemampuan dan keahlian kader-kadernya.
4. Tarqiyatu Qudrah Lit
Tashadum (Meningkatnya kemampuan untuk berbenturan)
Bila diibaratkan dengan
pohon maka semakin tinggi suatu pohon yang menjulang semakin banyak angin yang
menggoyang. Hanya pohon yang berdiri tegak dengan akar yang menghunjam saja
yang mampu bertahan akan terpaan angin tersebut. Sekalipun angin itu berupa
badai yang ganas. Kalaupun terjadi goyang hanya meruntuhan ranting-ranting
kecil atau dahan-dahan yang rapuh. Kalau hal ini dikaitkan dengan dakwah maka
semakin tegaknya bangunan dakwah semakin banyak ujian yang datang pada dakwah
ini. Baik ujian yang menyenangkan atau ujian yang menyusahkan. Oleh karena itu
dakwah ini berikut kader-kadernya perlu membentengi diri dengan kemampuan untuk
bisa menghadapi benturan-benturan. Apalagi benturan dakwah merupakan sesuatu
yang lumrah sebagai sunnah dakwah yang terjadi pada semua zaman. Bila kemampuan
tersebut dipahami dengan baik paling tidak bisa menghadapinya dengan kesiapan
psykologis yang memadai.
Sebagaimana kita pahami bahwa sesudah terjadinya Badar, kaum muslimin semakin
menyiapkan diri untuk menghadapi upaya musuh menekan dakwah. Kesiapan yang
cukup dapat menggetarkan siapa saja yang akan memusuhi dakwah ini. Karenanya
Allah SWT. ingatkan akan kesiapan untuk menghadapi benturan yang bakal terjadi.
Sekalipun tabiat dasarnya seorang mukmin adalah tidak mencari-cari musuh akan
tetapi bila sudah berhadapan maka tidak boleh lari darinya.
“Dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah
niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)”. (Al Anfal: 60).
5. Taqwiyatu Al Jawwi at
Tarbawiyah (Menguatnya iklim tarbiyah)
Bithanah Dakwah ini yang
juga patut diperhitungkan adalah penguatan iklim tarbiyah. Iklim yang
menajamkan pada kekuatan spiritual dalam melaksanakan aktivitas harian pada
sanubari setiap kadernya. Sehingga kekuatan maknawiyah kader
selalu dalam stamina yang prima. Agar para kader dakwah mempunyai bekalan yang
cukup untuk mengembangkan jaringan dakwah dan terus memperjuangkannya.
Menguatnya iklim tarbawi berupa penanaman sikap komitmen pada Islam dapat
melahirkan sikap militansi yang kuat. Hal ini juga berhubungan erat dengan
optimalisasi pelaksanaan tarbiyah bagi para kader. Juga dengan penerapan dan
disiplin terhadap manhaj tarbiyah.
Karena iklim tarbiyah ini
menjadi bithanah dakwah maka ta’shil tarbawiyah sesegera
mungkin digelorakan kembali seperti pada waktu-waktu normal. Agar iklim
tarbiyah ini lebih mewarnai aktivitas yang sedang berlangsung. Seorang ulama
dakwah mengingatkan, al ams ad da’wah takhdumus siyasah. Wal
an as siyasah la budda an takhdumad da’wah, (kemarin dakwah memberikan
pelayanan pada aktivitas perpolitikan sekarang ini politik harus memberikan
pelayanannya untuk dakwah).
Kita tentu sangat
mengerti bahwa unsur yang esensial dalam kehidupan orang yang beriman adalah
kekuatan aspek spiritual. Karena hal ini menjadi salah satu pintu menuju
kemenangan dakwah. Karenanya Allah SWT. perintahkan untuk mewujudkan suasana
itu menjadi atmosfir yang amat dibutuhkan kader-kader dakwah.
“Hai orang-orang yang
beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. ( Al Hajj: 77).
Ketika kekuatan dakwah
ini mengakar pada lapisan umat manusia ia bisa menjadi bolduser masyarakat
dalam mengarahkan mereka pada kebajikan yang dikenal dengan sebutanWilayatul
Hisbah atau kontrol sosial. Bila demikian maka seluruh komponen
masyarakat memiliki kewenangan untuk memberikan kontrol terhadap dinamika
kehidupan masyarakat luas. Baik yang berhubungan dengan urusan kemasyrakatan
atau dalam pengelolaan Negara atau pemerintahan. Kewenangan kontrol sosial
dapat berupa kewenangan Ar Ri’asah(kepemimpinan dan pelayanan).
Artinya semua orang memiliki tangung jawab untuk mengarahkan kehidupan
didalamnya terhadap kebajikan dan peduli pada hal-hal yang dapat membahayakan
kehidupan sosial. Dan kewenangan ini memang berpusat pada penanggung jawab
langsung yakni pemerintah. Atau juga berupa kewenangan Ar Ri’ayah(penjagaan/pemeliharaan).
Maksudnya adalah memberikan khidmah pada umat dan menjaga
stabilitas kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat berada pada jalur
kehidupan yang benar untuk meraih keberkahan yang telah dijanjikan Allah SWT.
Hal tersebut sebagaimana yang diibaratkan Nabi SAW. bagaikan penumpang dalam
bahtera. Bila ada penumpang yang akan melubangi bahteranya maka yang lain harus
mencegahnya bila tidak, maka akan menenggelamkan seluruh penumpangnya.
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ
ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ
وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٩٦
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Al
‘Araf: 96).
Wallahu ‘alam bishshawab.
Sebagaimana kita pahami bahwa sesudah terjadinya Badar, kaum muslimin semakin menyiapkan diri untuk menghadapi upaya musuh menekan dakwah. Kesiapan yang cukup dapat menggetarkan siapa saja yang akan memusuhi dakwah ini. Karenanya Allah SWT. ingatkan akan kesiapan untuk menghadapi benturan yang bakal terjadi. Sekalipun tabiat dasarnya seorang mukmin adalah tidak mencari-cari musuh akan tetapi bila sudah berhadapan maka tidak boleh lari darinya.
Posting Komentar untuk "Bithanah Ad-Da’awiyah"
Kami Rumah Aspirasi, Cerdas, Sehat, Siaga, Keluarga
sampaikan saran anda dengan baik
anda sopan kami segan